Rabu, 30 April 2014

ANALISIS MENGENAI RUU TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK SERTA UU NO 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA

ANALISIS MENGENAI RUU TENTANG ITE

          Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah ketentuan yang berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.

            Secara umum, materi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE) dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik dan pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang. Pengaturan mengenai informasi dan transaksi elektronik mengacu pada beberapa instrumen internasional, seperti UNCITRAL Model Law on eCommerce dan UNCITRAL Model Law on eSignature. Bagian ini dimaksudkan untuk mengakomodir kebutuhan para pelaku bisnis di internet dan masyarakat umumnya guna mendapatkan kepastian hukum dalam melakukan transaksi elektronik. 
Beberapa materi yang diatur, antara lain:
Pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE); 
tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE); 
penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan 
penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE);

           Beberapa materi perbuatan yang dilarang (cybercrimes) yang diatur dalam UU ITE, antara lain: 
konten ilegal, yang terdiri dari, antara lain: kesusilaan, perjudian, penghinaan/pencemaran nama baik, pengancaman dan pemerasan (Pasal 27, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE); 
- akses ilegal (Pasal 30); 
- intersepsi ilegal (Pasal 31); 
- gangguan terhadap data (data interference, Pasal 32 UU ITE);
- gangguan terhadap sistem (system interference, Pasal 33 UU ITE); 6. penyalahgunaan alat dan perangkat (misuse of device, Pasal 34 UU ITE);

             Dewasa ini informasi dan transakasi elektronik amat sangat akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia Internet (siber), termasuk didalamnya memberi punishment terhadap pelaku cybercrime.
              Secara umum, bisa kita simpulkan bahwa UU ITE boleh disebut sebuah cyberlaw karena muatan dan cakupannya luas membahas pengaturan di dunia maya, meskipun di beberapa sisi ada yang belum terlalu lugas dan juga ada yang sedikit terlewat. Muatan UU ITE kalau saya rangkumkan adalah sebagai berikut:
   -Tanda tangan elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional (tinta basah dan bermaterai). Sesuai dengan e-ASEAN Framework Guidelines (pengakuan tanda tangan digital lintas batas)
   -Alat bukti elektronik diakui seperti alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHP
   -UU ITE berlaku untuk setiap orang yang melakukan perbuatan hukum, baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia

Pengaturan Nama domain dan Hak Kekayaan Intelektual
Perbuatan yang dilarang (cybercrime) dijelaskan pada Bab VII (pasal 27-37):
Pasal 27 (Asusila, Perjudian, Penghinaan, Pemerasan)
Pasal 28 (Berita Bohong dan Menyesatkan, Berita Kebencian dan Permusuhan)
Pasal 29 (Ancaman Kekerasan dan Menakut-nakuti)
Pasal 30 (Akses Komputer Pihak Lain Tanpa Izin, Cracking)
Pasal 31 (Penyadapan, Perubahan, Penghilangan Informasi)
Pasal 32 (Pemindahan, Perusakan dan Membuka Informasi Rahasia)
Pasal 33 (Virus?, Membuat Sistem Tidak Bekerja (DOS?))
Pasal 35 (Menjadikan Seolah Dokumen Otentik(phising?))



ANALISIS MENGENAI UU NO : 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA


Perkembangan peradaban manusia melahirkan banyak progresifitas termasuk di bidang teknologi, hukum, industri dan seni. Perkembangan teknologi tersebut tidak hanya melahirkan dampak positif terhadap manusia. Dampak negatif juga lahir dari perkembangan peradaban manusia tersebut. Cyber crime misalnya merupakan tindak pidana yang lahir karena perkembangan teknologi sehingga dimungkinkan lahirnya modus dan jenis baru dalam tindak pidana. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia tersebut berkembang terlahir tindak pidana di bidang hak cipta.
Terkait dengan tindak pidana dibidang hak cipta perlu dilakukan analisis dari sudut pandang normatif dan kriminologi. Analisis tersebut dikaitkan dengan ketentuan yang tertuang dalam UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta. Jika dirumuskan tindak pidana / kejahatan di bidang hak cipta dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu :
  • Aspek Yuridis

Kejahatan / tindak pidana adalah bentuk kejahatan yang sudah dapat dimengerti defenisinya sebab telah ditentukan dalan undang-undang (UU) perbuatan tertentu yang dikategorikan sebagai suatu bentuk kejahatan (defenitif) yang sudah ditentukan larangannya dan ancaman pidananya. Dimana bila perbuatan tersebut melanggar ketentuan dalam UU maka dikategorikan juga sebagai kejahatan.
  • Aspek Sosiologis

Kejahatan bertitik tolak pada statement para ahli bahwa manusia sebagai makhluk yang bermasyarakat perlu dijaga dari setiap perbuatan masyarakat yang menyimpang dari nilai-nilai kehidupan yang dijunjung oleh masyarakat. Karena kejahatan merupakan perbuatan yang anti sosial yang berbenturan dengan kultur di masyarakat. Karena menimbulkan kerugian dan kegelisahan dari ketentraman masyarakat yang nantinya akan berujung pada sanksi.
Aspek Psikologis

                 Dalam bidang psikologis kejahatan termanifestasi kejiwaan yang terungkap pada tingkah laku manusia yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Perbuatan yang menyimpang (abnormal) yang sangat erat kaitannya dengan kejiwaan individu.
                Dalam terjadinya suatu tindak pidana tidak bisa lepas dari subek yang menjadi pelaku maupun korban. Pelaku dalam tindak pidana disebut penjahat. Segala hal mengenai pelaku perlu dikaji lebih dalam untuk mengetahui faktor yang melahirkan suatu tindak pidana. Terkait dengan terjadinya tindak pidana juga memberikan gambaran tentang respon masyarakat terhadap kejahatan dan pelaku kejahatan. Gejala yang menimbulkan kerugian dan bahaya yang dapat ditemukan dari pendalaman reaksi masyarakat.
               Tindak pidana yang sering kali terjadi dalam bidang hak cipta adalah plagiarisme dimana terdapatnya kesamaan antara suatu ciptaan dengan ciptaan yang lain. Ketentuan dalam UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta masih memberikan celah untuk terjadinya tindak pidana atau kejahatan di bidang hak cipta. Sesuai dengan tujuan dari Kriminologi untuk mempelajari kejahatan dengan berbagai aspek dan pandangan sesuai dengan fenomena kejahatan yang terjadi ditengah masyarakat. Awalnya hak cipta tidak diatur dalam suatu bentuk peraturan perundang-undangan, namun Kriminologi sesuai dengan fungdi dan manfaatnya memberikan sumbangan terbentuknya regulasi terkait dengan hak cipta. Dalam aliran pemikiran klasik berpandangan bahwa manusia berperilaku sesuai dengan kehendaknya. Pemikiran ini hanya dapat hidup dimasyarakat sebelum UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta di undangkan.
Namun ketika UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta sudah diundangkan dan sesuai dengan asas fictie bahwa masyarakat dianggap sudah tahu ketika UU tersebut sudah diundangkan dan diberlakukan.                        Maka aliran pemikiran dari Kriminologi yang berlaku adalah pemikirab kritis. Dimana, perilaku manusia dibatasi dengan adanya ketentuan yang tertuang dalam UU disertai penjelasan secara limitatif. Ketika sudah menjadi bahasa hukum dalam sebuah UU maka hal itulah yang menentukan dan membatasi manusia dalam berperilaku.
              Sebagai kritikan menuju peradilan yang restoratif, UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta masih memberikan celah kepada pelaku tindak pidana untuk melakukan tindak kejahatan. Bukan upaya untuk kriminalisasi tetapi sebagai langkah meminimalisir ruang terjadinya pidana. Hal ini merupakan bagian penting dari Kriminologi, misalnya dalam tindak pidana di bidang hak cipta. Ketika dalam sebuah contoh kasus dua oarang memiliki ciptaan yang sah dan keduanya memiliki alat bukti yang sah yang bisa dijadikan bukti bahwa mereka masing-masing adalah pemilik hak yang sah atas ciptaan tersebut. Dalam UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta tidak diatur mengenai hal ini. Pasal 1 huruf 2 UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta disebutkan “Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi”. Sebuah kritik terhadap UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta bahwa masih besar celah terjadinya tindak pidana di bidang hak cipta.
             Untuk menanggulangi tindak pidana tersebut dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penal dan non-penal. Pendekatan penal dilakukan oleh pemerintah dengan memakai sarana penal dalam menanggulangi kejahatan. Sebagai salah satunya membuat UU dan mengundangkannya sebagai sarana controling dalam masyarakat bertingkahlaku. Sedangkan pendekatan non penal adalah dengan memakai berbagai sarana pendekatan tanpa menggunakan unsur pemidanaan. Sehingga lebih condong kearah tindak preventif dan represif. Prefentif dalam artian sebagai pencegahan primer yang bertujuan menghindar individu di masyarakat dari pengaruh kejahatan. Represif sebagai langkah pencegahan sekunder menghindarkan terhadap pelaku kejahatan / individu dalam masyarakat yang telah pernah melakukan kejahatan untuk tidak melakukannya lagi.

SUMBER :
http://bolmerhutasoit.wordpress.com/tag/uu-no-19-tahun-2002-tentang-hak-cipta
http://dyahahai.blogspot.com/2014/04/analisis-ruu-tentang-informasi-dan.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Undang-undang_Informasi_dan_Transaksi_Elektronik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar